Sebanyak 30 persen dari 138.000 koperasi di Indonesia hingga saat ini belum
aktif. Salah satu penyebabnya, koperasi kekurangan modal untuk mengembangkan
usaha. (Adi Sasono, 2007) Dari sisi volume usaha, saat ini baru 22 persen
masyarakat Indonesia tergabung dalam koperasi dengan sekitar Rp 55 triliun per
tahun. (Secara keseluruhan, volume usaha koperasi di seluruh dunia mencapai 60
triliun dolar AS per tahun). Persentase ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan
kondisi di negara-negara maju, seperti AS dan Singapura. Di AS 70 persen
warganya sudah tergabung dalam koperasi, sedangkan di Singapura sekitar 80
persen.
Koperasi, lembaga perekonomian rakyat ini sudah melembaga sejak era
penjajahan Belanda. Ide-ide perkoperasian yang diperkenalkan pertama kali oleh
seorang patih di Purwokerto, Jateng, R Aria Wiraatmadja (1896) ini terus hidup
di tengah masyarakat. Budi Utomo (1908), Serikat Dagang Islam (1927), Partai
Nasional Indonesia (1929) pun mengemban perjuangan penyebarluasan semangat
koperasi.
Di era kemerdekaan, koperasi cukup diperhatikan pemerintah. Pada 1945,
koperasi masuk di bawah Kementerian Kemakmuran. Tanggal 12 Juli 1947, Gerakan
Koperasi mengadakan Kongres di Tasikmalaya dan hasilnya menetapkan bahwa tanggal
12 Juli dinyatakan sebagai Hari Koperasi.
Tahun 1958, koperasi menjadi bagian dari Kementerian Kemakmuran.
Perkoperasian kemudian dikelola oleh Menteri Transmigrasi Koperasi dan
Pembangunan Masyarakat Desa (1960) yang kemudian diubah menjadi Departemen
Koperasi pada 1963, menjadi Departemen Transmigrasi dan Koperasi (1964), dan
pada 1966 diubah lagi menjadi Kementerian Perdagangan dan Koperasi di bawah
pimpinan Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo, dengan Dirjen Koperasi Ibnoe Soedjono.
Pada 1967 diberlakukan UU No 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.
Tahun 1978, Koperasi masuk dalam Departemen Perdagangan dan Koperasi, dengan
Radius Prawiro sebagai menterinya. Untuk memperkuat kedudukan koperasi dibentuk
pula Menteri Muda Urusan Koperasi, yang dipimpin oleh Bustanil Arifin.
Dengan berkembangnya usaha koperasi dan kompleksnya masalah yang dihadapi
dan ditanggulangi, koperasi melangkah maju di berbagai bidang dengan memperkuat
kedudukan dalam pembangunan dengan memasukkan koperasi ke dalam satu departemen
tersendiri. Berbagai peraturan perundangan pun disusun, antara lain UU No
25/1992 tentang Perkoperasian, sebagai revisi UU No 12/1967 tentang Pokok-pokok
Perkoperasian.
Keppres No 58 dan No 96 Tahun 1993, mengubah nama Departemen Koperasi
menjadi Departemen Kopeasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Tugas Departemen
Koperasi menjadi bertambah dengan membina pengusaha kecil. Hal ini merupakan
perubahan strategis dan mendasar, karena secara fundamental golongan ekonomi
kecil sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan dan harus ditangani secara mendasar
mengingat perekonomian tidak terbatas hanya pada pembinaan perkoperasian saja.
Keppres No 134/1999 mengubah Departemen Koperasi dan PK menjadi Menteri
Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah. Dengan Keppres No 175/2000
diubah lagi menjadi Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
(Kemenkop dan UKM).
Dalam perspektif ini, pembentukan Kemenkop dan UKM sesungguhnya merupakan
langkah strategis untuk mewujudkan salah satu tujuan pembangunan nasional.
Yakni, memajukan kesejahteraan umum, yang berarti kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang. Koperasi dan usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM) merupakan representasi rakyat Indonesia dalam kehidupan
ekonomi nasional, sehingga perlu diberikan prioritas yang tinggi dalam
pembangunan nasional.
Jika dalam perjalanannya visi dan prinsip seperti di atas belum
terimplementasi dengan baik, itu dikarenakan beragamnya kendala yang harus
dihadapi Kemenkop dan UKM. Mulai dari terbatasnya sarana dan prasarana penunjang
persebaran koperasi, masih sulitnya akses koperasi dan UKM terhadap sumber daya
kemajuan ekonomi seperti pasar, modal usaha, teknologi, kemitraan usaha,
manajemen, dan keterampilan kewirausahaan, hingga rendahnya kualitas SDM. Di
samping, belum lengkapnya kelembagaan pemberdayaan koperasi dan UKM, belum
tegaknya pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur persaingan secara sehat
dan adil, serta belum mantapnya pembinaan usaha nasional, baik antar-sektor,
golongan ekonomi maupun daerah.
Di sisi lain, kebijakan iklim usaha yang diimplementasikan pemerintah dan
pemda belum memberi rasa keadilan dan keberpihakan kepada UMKM. Kendala lain
yang dihadapi adalah rendahnya perspektif, tak hanya para pimpinan instansi
pemerintah namun juga dunia usaha mengenai pemberdayaan koperasi dan UMKM di
Indonesia. Dalam konteks ini, penguatan wewenang Kemenkop dan UKM menjadi sangat
penting dan relevan untuk mengurangi konflik kepentingan.
Koperasi dan UKM memang bisa saja dilekatkan di masing-masing departemen
teknis, namun melihat peran strategisnya dalam memajukan kesejahteraan umum maka
ide penghapusan kementerian ini bisa berdampak bagi tak jelasnya masa depan
pembinaan koperasi dan UKM di Indonesia.
Sebaliknya, proses revitalisasi organisasi Kemenkop dan UKM menjadi vital
dilakukan. Ke depan kita perlu memperkukuh struktur ekonomi yang berintikan
koperasi dan UMKM sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi, yang pro
pengurangan kemiskinan dan peningkatan lapangan usaha. Ketimpangan penguasaan
sumber daya produktif, baik antar-pelaku usaha, antar-daerah maupun antara pusat
dan daerah merupakan tantangan yang harus dihadapi. Di samping, bagaimana
meningkatkan alokasi sumberdaya produktif yang mudah diakses oleh koperasi UMKM,
sehingga dapat mengubah struktur ekonomi nasional yang lebih adil. ***
Penulis adalah dosen dan peneliti di
Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat.
Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat.